Monday, December 28, 2009

Jampi Jampi Varaiya


Jampi-jampi bikin sakit kepala...mungkin itu kalimat yang paling pas menggambarkan novel fiksi baru keluaran Gramedia Pustaka Utama. Jampi-Jampi Varaiya, buku yang covernya didominasi warna pink dengan layout bagaikan wallpaper yang cewek banget. Buku ini saya beli di pertengahan Desember ini, sebagai salah satu buku terbaru yang ingin saya review untuk rubrik Books di majalah tempat saya bekerja. Covernya sih dari awal sudah agak bikin dahi saya berkerut sedikit. Kok pink banget ya? wah, ceritanya cewek banget nih. Lalu, saya membaca sampul belakangnya...tentang rendang yang lari dari panci, cangkir yang menggigit, roti yang menari, dan satu nama karakternya: Oryza. Oke, sounds interesting. Nama tokohnya saja aneh, bikin saya ingat beras saja! Judul dan kutipan di sampul belakang setidaknya menyiratkan dua hal yang pasti: fantasi dan chicklit! Oke, i can live with that, setidaknya genre ini masih termasuk ke dalam kategori buku yang bisa direview oleh majalah saya. Saya tinggal berharap isi ceritanya cukup seru dan tak terlalu standar. Tapi, hey, it's fantasy, nggak mungkin standar dong?!
Dan, tentu saja, sebuah nama yang memberikan harapan besar yang wajar: Clara Ng! Saya bukan fans beratnya, saya tidak hafal semua karya-karyanya. Tapi, saya membaca Chronicles of Indiana Lesmana, Gerhana Kembar, Tea for Two, dan bahkan beberapa buku anak-anak karyanya. Clara Ng is a good writer. Indiana Chronicles misalnya, karakter Indiana yang sangat pop, menurut saya tetap menarik dan tak mudah dilupakan. Gerhana Kembar, kisah cinta sesama jenis yang begitu halus penuturannya. Hasilnya? saya merasa cinta memang suci apapun dan bagaimana pun wujudnya. Lalu Tea for Two...buku ini saya review dan secara garis besar saya memujinya: ceritanya realistis tapi ditampilkan begitu smooth dengan bumbu humor yang tak berlebihan. Padahal pesan cerita itu begitu berat: kekerasan rumah tangga dan bagaimana perjuangan perempuan untuk selamat dari kondisi itu. Nah, semakin bulat tekad saya untuk memilih buku ini. Meskipun saya sudah siap untuk 'unsur kacangan' dalam setiap chicklit yang pernah saya baca, tapi saya berharap Clara Ng pasti bisa membalutnya dalam gaya yang tetap sedap dinikmati.
Dan dimulainya proses itu, halaman pertama lalu kedua, ketiga...hingga sekarang pembatas buku itu masih terselip di halaman 220. And you know what, butuh seminggu untuk membaca hingga 220 halaman dan itu tak mampu saya teruskan. Bab awal dibuka dengan seorang tokoh yang mencuri ramuan di dapur keluarga penyihir. Cukup memancing. Tapi, di bab kedua...penceritaan mulai terasa aneh bagi saya. Tokoh Zea, Dadi Samudra, Solanum bermunculan. Hingga sang Oryza, tokoh utama perempuannya. Nama-nama yang unik, sayang tak bisa dipertanggungjawabkan dengan mulus. Dadi Samudera adalah sang ayah yang memberi nama anak-anak gadisnya dari istilah Latin tumbuh-tumbuhan. Kenapa? Tak tahu!!! Tokoh-tokoh lain juga keluar: Xander, Pax, Strawberry, Aqua, Nuna, dan pak Kapten (tentu saja masih ada tokoh-tokoh lain, tapi saya belum sampai ke halaman seterusnya). Ada yang salah di sini...kenapa saya tak tahan membaca halaman demi halamannya? ada yang tak smooth dengan penuturan Clara. Saya sudah bersiap dengan keanehan dan keganjilan apapun dalam buku ini, berhubung ini cerita fantasi. Kalaupun gayanya cheesy, ya siap juga, toh ini chicklit (yes, i think most of chicklit are cheesy in some ways-but not all). Tapi, ini sungguh-sungguh buruk. Tokoh-tokohnya terasa terlalu fiksi, mulai dari nama hingga karakternya (oh saya sungguh benci ketika penulis menyebut IPB sebagai fakultas tempat di mana tokoh Zea kuliah...come on, jangan rusak imajinasi saya akan sosok keluarga penyihir dengan nama institusi pendidikan yang citranya sungguh jauh dan timpang dengan dunia sihir. Buatlah sekolah khusus yang seru dan misterius. Harry Potter memang hidup di London, Inggris, tapi toh tak memaksakan diri sekolah di Oxford. Instead, Rowling menciptakan sekolah khusus yang begitu memesona sehingga melengkapi keutuhan tokohnya. Bukan sebaliknya, bikin ilfil! Seolah-olah saya membayangkan tokoh Zea yang tinggi besar, dewasa, kalem, penuh misteri, cinta binatang, punya ilmu sihir tertentu..lalu DANG! membayanginya berjalan di kampus IPB Dramaga Bogor di antara anak-anak kuliahan IPB yang jauh sekali modelnya dengan komunitas sihir). Atau level-level sihir yang tak dijelaskan rinci perbedaan dan kehebatannya; karakter tokoh-tokohnya yang konyol, sok pelawak, dan tak satu pun misterius atau karakter apalah yang lebih pantas untuk sosok penyihir; hingga seting Indonesia yang dipilih: Jakarta dan sebuah pulau yang tak ada di peta Indonesia. Pulau yang bahkan tak menimbulkan rasa penasarana seperti halnya saya akan Hogwarts, The Leaky Cauldron, Diagon Alley, Forbidden Forest, dan situs sihir lainnya. Oke, mungkin tak adil jika saya terus membandingkannya dengan Harry Potter. Tapi cobalah lihat Twilight, novel tentang cinta anak manusia bernama Belle dan vampir ganteng Edward. Penulis memilih kota Forks di Washington dengan alasan kota yang lembab dan minim matahari, lalu Italia yang begitu klasik sebagai pusat vampir jahat keluarga Volturi. Semua seperti dibuat dengan alasan atau research yang cukup untuk membuatnya agak masuk akal. Bahkan, penulis memilih istilah 'kaum jelata' untuk menyebut manusia non penyihir...Duh sungguh tak kreatif dan tak sedap di kuping (kenapa tak berpikir keras untuk menemukan istilah baru yang aneh sekalian seperti 'The Muggle')?! Saya tahu ini fiksi dan fantasi, tapi unsur smooth, familier, dan membumi sehingga cerita terasa real bukan sesuatu yang haram juga. Kalaupun mau menghayal kelas tinggi, kagetkanlah saya dengan tak tanggung-tanggung (seperti dalam film Avatar-James Cameron).
Oke, kembali ke Jampi-Jampi Varaiya...cerita akan berlanjut dengan 'keajaiban-keajaiban' kelas teri seperti rendang bisa jalan, cangkir bisa menggigit, roti bernyanyi, hingga ilmu animagus (kemampuan sihir manusia untuk berubah wujud menjadi binatang). Lalu, over dosis ramuan membuat keluarga Samudera Raya harus mencari obatnya ke pulau sihir misterius. Nah, saya baru sampai di sini bacanya.
Intinya, saya harus membaca hingga akhir untuk review yang adil di majalah nanti (duh, ini pasti jadi acara membaca paling menyiksa, saya harus siapkan kue cokelat nikmat dan segelas teh hangat di samping saya nanti). So far, saya menyimpulkan Jampi-Jampi Varaiya hanyalah cerita standar tentang cinta. Namun, agar tak terasa 'kestandarannya', dibuatlah tokoh-tokohnya sebagai manusia penyihir, lalu dipenuhilah ceritanya dengan ilmu sihir, tempat-tempat dan pelengkap lainnya yang seakan magical (padahal tidak--atau setidaknya penuturannya terasa kasar dan terburu-buru). Di saat Clara berniat membuat cerita yang magical, ia justu kehilangan 'kemampuan sihirnya' dalam menulis dan bertutur. Saya sungguh kecewa. Saya masih berharap bisa menemukan sesuatu yang berkualitas di halam 221 hingga 318, sehingga saya masih bisa memberinya kredit di review nantinya. Sayangnya, halaman 319 membuat saya lemas...Jampi-Jampi Varaiya ternyata dijadwalkan menjadi serial, dan buku berikutnya sudah disiapkan dengan judul Ramuan Drama Cinta.
Wakwaw???

No comments:

Post a Comment