Sunday, August 9, 2009

Paranoia



(i used these images from Pixton-http://pixton.com/comic/xgec6sub-made by Brunswick)
...Sabtu, 8 agustus kemarin, saya dapat kabar mengagetkan: my cousin, Iman, is having a swine flu! tentu saja, satu rumah langsung geger. Iman, sepupu saya itu umurnya belum genap 3 tahun. belum jelas bagaimana, dia sudah berada si RS Sulianti Soeroso pagi itu. setelah diskusi panik sana-sini, saya kebagian menjemput kakak Iman, Ikhsan, yang duduk di kelas 2 SMP, di rumahnya di Bekasi. Saya, sepupu saya di Bogor, Manan dan Rina, kami bertiga pergi ke Bekasi. Kami sepakat untuk membeli masker dan memakainya begitu kami sampai. Maklum, dengan pengetahuan terbatas kami semua menyimpulkan rumah keluarga sepupu saya di Bekasi itu belum tentu 100% bebas virus influenza kan, apapun jenisnya. Begitu masker sudah di tangan dan kami tiba di depan pintu pagar, sepupu saya Manan tiba-tiba nyeletuk: "kita pake nih? kalau dilihat tetangga gimana? trus nanti kalau nenek lihat gimana? (nenek itu ibu mertua oom saya, nenek yang mengurus Iman dan Ikhsan)- nanti tanya-tanya bagaimana?". Ada benarnya juga. Di perumahan Bekasi yang padat itu, para tetangga sudah keluar rumah begitu melihat mobil kami merapat. Kami jadi celingukan, merasa serba salah. Akhirnya, dengan separuh menyesal, kami memutuskan untuk tidak menggunakan masker. Tentu saja, sambil berharap mudah-mudahan keputusan ini tidak berakibat fatal. Masuk ke rumah, kami berbasa-basi sedikit dengan nenek, sebelum akhirnya bertemu Ikhsan yang baru bangun dari tidur siangnya. Saya langsung memegang jidat dan leher Ikhsan...panas! Ikhsan juga bilang kalau baru tadi pagi dia merasa sesak nafas. Saya kaget, kami kaget! Bisa jadi Ikhsan cuma kena gejala flu biasa, tapi dengan status adiknya di Sulianti Soeroso, ini tidak boleh dianggap enteng. Saya mendadak ingat keputusan kami untuk tidak memakai masker. Duh! Karena demamnya lumayan, kami jadi punya alasan kepada nenek untuk segera kabur dari rumah itu untuk membawa Ikhsan ke RS. Dari Rina, kami memutuskan membawa Ikhsan ke Rumah Sakit AD Gatot Subroto sebagai salah satu rumah sakit rujukan (referal) untuk pemeriksaan flu babi di Jakarta. Sampai di sana Maghrib, kami langsung membawa Ikhsan ke IGD, panasnya masih juga tinggi. Sepupu saya, Rina, langsung melapor pada perawat yang jaga kalau Ikhsan demam, sesak, dan ada latar belakang adiknya yang sudah positif flu di Sulianti Soeroso. Perawat yang sejak awal tampak tak ramah itu langsung mengernyitkan dahi dan menjawab dengan nasa ketus: "ya bawa langsung saja ke Sulianti, ngapain ke sini?!". Saya dengan masih agak tenang berkata, "mau dites awal saja, sus, kan bisa di sini. kalau positif flu A-nya, dan kondisinya gawat, ya saya bawa ke sana. toh kita sudah di sini". Eh, si sus balik jawab dengan tidak mengurangi keketusannya, "tesnya cuma bisa hari kerja, sabtu minggu libur. Lagian ngapain di bawa ke sini kalau adiknya sudah di sana? kok dipisah-pisah begitu?!". Karena sudah kesal, akhirnya kami langsung cabut dari RS itu. Kecewa. Sayang kami tak mengingat nama suster itu. Sementara itu, Ikhsan makin lemah, apalagi sesaknya jadi makin sering. Dag-dig-dug, kami meluncur ke arah Ancol sambil meraba-raba di mana posisi RS Sulianti Soeroso. Maklum, belum pernah dan tidak tahu.
Untungnya, jalan yang kami ambil benar arahnya. Keberuntungan juga kalau kami berhenti di depan bangunan, berniat bertanya ke pedagang yang ternyata gedung itu adalah RS Sulianti Soeroso yang kami cari. Kali ini kami sepakat dan bertekad bulat untuk memakai masker. Erat!
Gedungnya tidak terlalu besar. Sepi. Kami melihat papan dengan tanda panah merah bertuliskan 'Triage Flu Babi'. Kami memutar setengah halaman RS ini sampai akhirnya berhenti di gedung terakhir di paling belakang kompleks. Gedung khusus penanganan flu babi ini sepi dan tak ada orang sama sekali. Pintunya terbuka, lampunya nyala terang, tapi kosong. Ada kursi tunggu dan loket pendaftaran tapi ya kosong. Saya dudukkan Ikhsan di kursi. Kami sudah bersama ayah Ikhsan, oom saya yang sejak pagi sudah disini. Tak lama satpam dengan sepeda datang tergopoh-gopoh dan bertanya: "dokternya sudah ada?". Lah, kok jadi kami yang ditanya?? "Belum", saya bilang. "Baik, saya telpon dulu, pasiennya mana?". katanya. Saya tunjuk ke arah Ikhsan yang sudah tergolek lemas di kursi. Mendadak wajah pak satpam sedikit berubah, langsung ada sedikit kekhawatiran. Saya langsung mengerti, dia tidak pakai masker, padahal kami semua pakai, sementara ada pasien yang kemungkinan kena flu babi. Tapi, setelah sadar, dia langsung masuk ke ruangan administrasi dan menelpon. Dokternya saya harap. Tak lama, dari lorong gedung di depan kami, dua sosok tampak datang dari kejauhan. Nah, ini dokternya, saya pikir. Sepatu but, celana dan baju dari bahan tertentu, sarung tangan karet, masker ganda, kacamata pelindung bermerek Jepang, dan penutup kepala. Itu penampilan dua dokter yang datang. Mereka seperti alien. Full covered and we can't see their faces. Seram tapi sepertinya ini prosedur.
Ikhsan di bawa ke ruang pemeriksaan. Ruangan besar dengan kira-kira lima dipan periksa. Ada tabung oksigen, meja dokter, kursi tunggu dan toilet. Tapi ruangan ini melompong dan sepi. Agak panas dan nyamuknya luar biasa banyak. Saya sempat menggunakan toiletnya. Agak seram. Bukan apa-apa, saya pikir ketika SARS, Flu Burung atau Flu Babi meledak, ruangan ini pasti penuh dengan pasien-pasien suspect maupun yang +. Ihhhh...saya jadi bergidik. Cuci tangan serius sekali.
Setelah diperiksa, dokter memutuskan kondisi Ikhsan masih dalam tahap flu biasa. Ciri-ciri flu babi -nya tidak maksimal. Meski berjaga-jaga, Ikhsan tidak bisa dirawat di Sulianti karena ini RS khusus yang +saja, untuk yang belum terbukti kalau bisa malah jangan bergabung dengan pasien-pasien lain yang sudah +. Akhirnya, Ikhsan diberi obat anti demam, Tamiflu, dan obat lainnya. Kami ditugaskan memantau demam dan sesaknya. Kalau memburuk, Senin harus kembali ke tempat ini. Kalau membaik, bisa dipastikan Ikhsan hanya flu biasa. Dokter juga bilang kalau kami yang ada di ruangan ini harus fit, jaga kesehatan, dan memantau diri kami. Karena kami menjaga Ikhsan yang flu, dan karena kami sudah datang ke tempat ini, tempat di mana pasien-pasien flu babi berada-meski kami tak melakukan hub langsung sama sekali. Dag dig dug, jadi paranoid nih kami!
Begitulah. Ikhsan boleh pulang. Saya ngobrol dengan oom saya. Sepupu saya, Iman, ternyata baru +flu A. Tes untuk H1N1-nya baru keluar Senin nanti. Jadi, Iman belum tentu flu babi. Hanya saja, ciri-ciri dia sudah sangat banyak, sehingga kemungkinannya besar alias statusnya sudah 'suspect'. Iman sudah demam 7 hari, tak nafsu makan, batuk-batuk, flu, dan ketika difoto paru-parunya ada titik-titik putih di dalamnya. Ini artinya sudah terjadi gangguan pernapasan. Pasien flu babi biasanya menderita gangguan pernapasan, karena virusnya langsung menyerang pernapasan (untuk kemudian menyerang organ lain). Maka, Iman dan ibunya-tante saya- langsung dikarantina di gedung khusus sampai menunggu hasil. Positif atau tidak, sekitar lima harian mereka baru bisa keluar dari ruang isolasi. Saya pun tak bertemu dengan mereka malam itu.
Pulang dari RS Sulianti Soeroso, jujur saya jadi kurang tenang. Ada Ikhsan di mobil ini, berbagi udara dengan saya dan dua sepupu saya yang lain. Kami sudah pakai masker dan mengulang mencuci tangan dengan gel khusus berkali-kali di dalam mobil. Ikhsan tertidur di pangkuan saya sepanjang perjalanan pulang. Maksernya terpasang. Badannya panas sekali. Saya pasrah saja. Saya usap keningnya, saya membaca doa. Untuk dia, saya, Iman, dan kami semua.
Mudah-mudahan ini cuma flu biasa...