Tuesday, December 29, 2009

Paranoid vs The Law of Attraction


Takut. Perasaan itu menghampiri saya kemarin malam. Keluar dari kantor, saya berdiri cukup lama di kawasan Menteng untuk menunggu taksi ke arah Raden Saleh, Cikini. Tidak jauh jaraknya, naik taksi biasanya cuma habis Rp 13.000/tarif bawah, dan Rp 18.000/tarif atas. Saya sendirian, jadi saya menunggu taksi berlambang burung biru dan sejawatnya. Ini masalah rasa nyaman dan aman yang sudah bukan hal aneh lagi kalau bicara soal taksi di Jakarta. Banyak pemuda nongkrong di depan pagar kantor saya, saya jadi agak tidak nyaman berlama-lama berdiri menunggu taksi. Tak lama, di kejauhan saya melihat taksi dengan lampu menyala kebiruan. Segera saya menghentikannya. Begitu mendekat dan berhenti, dug! Saya kaget ternyata taksi itu bukan taksi pilihan saya, tapi taksi warna sejenis dengan lambang tangan yang bersalaman. Alamak! Citra taksi ini tidaklah bagus. Antara ragu-ragu was-was dan perasaan tak enak karena sudah menyetopnya, saya masuk juga ke dalam taksi. Supir rupanya sedang menyetel radio yang melantunkan ayat-ayat suci al Quran. Sedikit lega (dengan harapan absurd bahwa sang supir seorang muslim yang baik dan tentunya tidak akan melakukan kejahatan...duh naif sekali saya!). Perjalanan berjalan normal sebetulnya tapi saya berstatus siaga selalu. Tangan kiri saya di bawah kaca jendela, satu jari memastikan kunci pintu tidak dalam posisi terkunci (ya, karena saya berpikir kalau supir mulai bertingkah mencurigakan atau mau mengunci saya di dalam, saya akan lompat duluan). Mata saya bergantian menatap spion (memastikan mata supir), tombol kunci, dan ke arah belakang. Sialnya, tepat di jl.Cikini 4, sebuah Toyota Inova di belakang taksi saya berkali-ali memberikan lampu jauh. Supir taksi melihat kaca spion dengan alis terangkat. Mungkin dia sih bertanya-tanya kenapa diberi lampu jauh, sementara jantung saya sudah nyaris lompat keluar. Saya hitung benar kalau kedipan lampu jauh sebanyak 5 kali hingga akhirnya memasuki Jl.Cikini Raya, Inova itu mendahului dan melesat pergi dari taksi saya. Keringat saya sudah bercucuran, mulut sudah komat-kamit membaca doa, dan napas saya sudah memburu. Sesungguhnya tak ada yang terjadi. Taksi berbelok ke Raden Saleh, saya mulai lega karena saya sebentar lagi turun dan jalan ini ramai sekali. Di sela waktu tersisa, saya tiba-tiba teringat soal 'the law of attraction', sugesti, atau prasangka dan kenyataan. Sudah bukan menjadi rahasia (The Secret) kalau hal-hal yang terjadi kerapkali adalah buah pikiran yang intens dan fokus. Ya, termasuk soal ketakutan saya ini. Kalau kepala saya dipenuhi gambaran akan saya dirampok atau dijahati oleh supir taksi yang saya naikin plus hati saya menguatkannya dengan perasaan was-was dan takut, maka kejadian itu bisa sungguhan terjadi. Apa yang saya sangat takutkan tapi saya pikirkan malah akan tertarik mendekati saya sendiri. Saya tidak serta merta selalu percaya dengan hukum 'law of attraction' ini, tapi saya juga merasakan sendiri hukum itu memang berlaku. Untungnya, kondisi taksi ini sepertinya tidak sepenuhnya membuat saya fokus akan terjadi kejahatan. Saya (atau kepala dan hati saya) masih bingung menimbang apakah supir taksi ini jahat atau tidak (tentu dipengaruhi ayat suci dari stasiun radio tadi). Jadi, mungkin kekuatan pikiran saya tak terlalu kuat untuk menarik apa yang saya takutkan menjadi kenyataan. Lima belas menit kemudian, saya sudah turun dengan selamat dan aman di depan Gedung Tirta Grahadi. Tak lupa saya mengucap syukur kepada Tuhan dan berterimakasih pada sang supir (sembari meminta maaf telah bersu'udzon kepadanya-dalam hati).
Saya pulang dengan kakak saya dan saya cerita soal paranoia saya di taksi tadi. Kakak saya merasa itu hal yang wajar dan perlu. Tapi, itu bisa dihindari jika saya berani menolak untuk naik taksi itu meski sudah menyetopnya. Toh, dia bilang saya bisa bohong (putih) kalau saya hanya membawa voucher perusahaan taksi tertentu (benar juga, payah juga saya ini). Tapi, dia kemudian cerita soal 'the law of attraction' yang rupanya dialaminya tadi pagi di jalan tol menuju kantornya. Dia melihat di spion kiri kalau sebuah truk besar di belakang tampaknya akan menyalip dengan gegabah. Saat itu juga yang terlintas di pikirannya adalah 'gawat nih kalau sampai tertabrak, trus itu besar sekali sementara mobil saya kecil'. Instead of menghindari kemungkinan itu, kakak saya rupanya terbawa dengan pikirannya tadi. Walhasil, tak lama kemudian suara klakson membahana dari truk itu. Rupanya truk itu memang nyaris menyundul bagian belakang kiri mobil kakak saya. Kakak saya tersadar, membunyikan klakson balik, dan untungnya truk tadi bisa mengendalikan diri dan tabrakan itu tak terjadi. Setelah beberapa saat situasi kembali tenang dan aman, kakak saya baru berani untuk kembali berpikir. Betul memang apa yang kita pikirkan dengan sungguh-sungguh bisa menjadi kenyataan. Tinggal apakah pemusatan pikiran itu berupa doa atau harapan yang baik atau angan-angan yang buruk. Karena yang kemudian terjadi adalah apa yang benar-benar kita fokuskan. Kakak saya bersyukur tak tertarik sampai akhir seperti yang dipikirkannya. Lesson learned-nya: ini memang susah. Siaga dan waspada memang perlu, tapi sebagaimana bisa mengendalikan hati dan pikiran untuk lebih fokus pada apa yang kita inginkan dan harapkan terjadi. Bukan sebaliknya.
...

Monday, December 28, 2009

Jampi Jampi Varaiya


Jampi-jampi bikin sakit kepala...mungkin itu kalimat yang paling pas menggambarkan novel fiksi baru keluaran Gramedia Pustaka Utama. Jampi-Jampi Varaiya, buku yang covernya didominasi warna pink dengan layout bagaikan wallpaper yang cewek banget. Buku ini saya beli di pertengahan Desember ini, sebagai salah satu buku terbaru yang ingin saya review untuk rubrik Books di majalah tempat saya bekerja. Covernya sih dari awal sudah agak bikin dahi saya berkerut sedikit. Kok pink banget ya? wah, ceritanya cewek banget nih. Lalu, saya membaca sampul belakangnya...tentang rendang yang lari dari panci, cangkir yang menggigit, roti yang menari, dan satu nama karakternya: Oryza. Oke, sounds interesting. Nama tokohnya saja aneh, bikin saya ingat beras saja! Judul dan kutipan di sampul belakang setidaknya menyiratkan dua hal yang pasti: fantasi dan chicklit! Oke, i can live with that, setidaknya genre ini masih termasuk ke dalam kategori buku yang bisa direview oleh majalah saya. Saya tinggal berharap isi ceritanya cukup seru dan tak terlalu standar. Tapi, hey, it's fantasy, nggak mungkin standar dong?!
Dan, tentu saja, sebuah nama yang memberikan harapan besar yang wajar: Clara Ng! Saya bukan fans beratnya, saya tidak hafal semua karya-karyanya. Tapi, saya membaca Chronicles of Indiana Lesmana, Gerhana Kembar, Tea for Two, dan bahkan beberapa buku anak-anak karyanya. Clara Ng is a good writer. Indiana Chronicles misalnya, karakter Indiana yang sangat pop, menurut saya tetap menarik dan tak mudah dilupakan. Gerhana Kembar, kisah cinta sesama jenis yang begitu halus penuturannya. Hasilnya? saya merasa cinta memang suci apapun dan bagaimana pun wujudnya. Lalu Tea for Two...buku ini saya review dan secara garis besar saya memujinya: ceritanya realistis tapi ditampilkan begitu smooth dengan bumbu humor yang tak berlebihan. Padahal pesan cerita itu begitu berat: kekerasan rumah tangga dan bagaimana perjuangan perempuan untuk selamat dari kondisi itu. Nah, semakin bulat tekad saya untuk memilih buku ini. Meskipun saya sudah siap untuk 'unsur kacangan' dalam setiap chicklit yang pernah saya baca, tapi saya berharap Clara Ng pasti bisa membalutnya dalam gaya yang tetap sedap dinikmati.
Dan dimulainya proses itu, halaman pertama lalu kedua, ketiga...hingga sekarang pembatas buku itu masih terselip di halaman 220. And you know what, butuh seminggu untuk membaca hingga 220 halaman dan itu tak mampu saya teruskan. Bab awal dibuka dengan seorang tokoh yang mencuri ramuan di dapur keluarga penyihir. Cukup memancing. Tapi, di bab kedua...penceritaan mulai terasa aneh bagi saya. Tokoh Zea, Dadi Samudra, Solanum bermunculan. Hingga sang Oryza, tokoh utama perempuannya. Nama-nama yang unik, sayang tak bisa dipertanggungjawabkan dengan mulus. Dadi Samudera adalah sang ayah yang memberi nama anak-anak gadisnya dari istilah Latin tumbuh-tumbuhan. Kenapa? Tak tahu!!! Tokoh-tokoh lain juga keluar: Xander, Pax, Strawberry, Aqua, Nuna, dan pak Kapten (tentu saja masih ada tokoh-tokoh lain, tapi saya belum sampai ke halaman seterusnya). Ada yang salah di sini...kenapa saya tak tahan membaca halaman demi halamannya? ada yang tak smooth dengan penuturan Clara. Saya sudah bersiap dengan keanehan dan keganjilan apapun dalam buku ini, berhubung ini cerita fantasi. Kalaupun gayanya cheesy, ya siap juga, toh ini chicklit (yes, i think most of chicklit are cheesy in some ways-but not all). Tapi, ini sungguh-sungguh buruk. Tokoh-tokohnya terasa terlalu fiksi, mulai dari nama hingga karakternya (oh saya sungguh benci ketika penulis menyebut IPB sebagai fakultas tempat di mana tokoh Zea kuliah...come on, jangan rusak imajinasi saya akan sosok keluarga penyihir dengan nama institusi pendidikan yang citranya sungguh jauh dan timpang dengan dunia sihir. Buatlah sekolah khusus yang seru dan misterius. Harry Potter memang hidup di London, Inggris, tapi toh tak memaksakan diri sekolah di Oxford. Instead, Rowling menciptakan sekolah khusus yang begitu memesona sehingga melengkapi keutuhan tokohnya. Bukan sebaliknya, bikin ilfil! Seolah-olah saya membayangkan tokoh Zea yang tinggi besar, dewasa, kalem, penuh misteri, cinta binatang, punya ilmu sihir tertentu..lalu DANG! membayanginya berjalan di kampus IPB Dramaga Bogor di antara anak-anak kuliahan IPB yang jauh sekali modelnya dengan komunitas sihir). Atau level-level sihir yang tak dijelaskan rinci perbedaan dan kehebatannya; karakter tokoh-tokohnya yang konyol, sok pelawak, dan tak satu pun misterius atau karakter apalah yang lebih pantas untuk sosok penyihir; hingga seting Indonesia yang dipilih: Jakarta dan sebuah pulau yang tak ada di peta Indonesia. Pulau yang bahkan tak menimbulkan rasa penasarana seperti halnya saya akan Hogwarts, The Leaky Cauldron, Diagon Alley, Forbidden Forest, dan situs sihir lainnya. Oke, mungkin tak adil jika saya terus membandingkannya dengan Harry Potter. Tapi cobalah lihat Twilight, novel tentang cinta anak manusia bernama Belle dan vampir ganteng Edward. Penulis memilih kota Forks di Washington dengan alasan kota yang lembab dan minim matahari, lalu Italia yang begitu klasik sebagai pusat vampir jahat keluarga Volturi. Semua seperti dibuat dengan alasan atau research yang cukup untuk membuatnya agak masuk akal. Bahkan, penulis memilih istilah 'kaum jelata' untuk menyebut manusia non penyihir...Duh sungguh tak kreatif dan tak sedap di kuping (kenapa tak berpikir keras untuk menemukan istilah baru yang aneh sekalian seperti 'The Muggle')?! Saya tahu ini fiksi dan fantasi, tapi unsur smooth, familier, dan membumi sehingga cerita terasa real bukan sesuatu yang haram juga. Kalaupun mau menghayal kelas tinggi, kagetkanlah saya dengan tak tanggung-tanggung (seperti dalam film Avatar-James Cameron).
Oke, kembali ke Jampi-Jampi Varaiya...cerita akan berlanjut dengan 'keajaiban-keajaiban' kelas teri seperti rendang bisa jalan, cangkir bisa menggigit, roti bernyanyi, hingga ilmu animagus (kemampuan sihir manusia untuk berubah wujud menjadi binatang). Lalu, over dosis ramuan membuat keluarga Samudera Raya harus mencari obatnya ke pulau sihir misterius. Nah, saya baru sampai di sini bacanya.
Intinya, saya harus membaca hingga akhir untuk review yang adil di majalah nanti (duh, ini pasti jadi acara membaca paling menyiksa, saya harus siapkan kue cokelat nikmat dan segelas teh hangat di samping saya nanti). So far, saya menyimpulkan Jampi-Jampi Varaiya hanyalah cerita standar tentang cinta. Namun, agar tak terasa 'kestandarannya', dibuatlah tokoh-tokohnya sebagai manusia penyihir, lalu dipenuhilah ceritanya dengan ilmu sihir, tempat-tempat dan pelengkap lainnya yang seakan magical (padahal tidak--atau setidaknya penuturannya terasa kasar dan terburu-buru). Di saat Clara berniat membuat cerita yang magical, ia justu kehilangan 'kemampuan sihirnya' dalam menulis dan bertutur. Saya sungguh kecewa. Saya masih berharap bisa menemukan sesuatu yang berkualitas di halam 221 hingga 318, sehingga saya masih bisa memberinya kredit di review nantinya. Sayangnya, halaman 319 membuat saya lemas...Jampi-Jampi Varaiya ternyata dijadwalkan menjadi serial, dan buku berikutnya sudah disiapkan dengan judul Ramuan Drama Cinta.
Wakwaw???

Tuesday, November 17, 2009

Le Parade de Chaussures

starts with these...cool strap with zipper and it looks comfy!

it's just me or it's batik, right? cool!

yaaaayyy!!!

this is artsy: nice fabric on the strap, and it's a pretty shoes!

brilliant ideas: pearl & the design on its top!

sexy & stylish!

(photos from style com)

Tuesday, October 20, 2009

Selasa ini

hari ini oom saya ulang tahun
sayangnya dia sedang sakit
...
bosan banget di kantor
sementara di luar sana, jalanan macet karena pengalihan dan tutup-buka jalan untuk rombongan sby-budiono lewat
oh ya, mereka dilantik resmi jadi pres & capres RI
syukurlah lancar...

mendengarkan musik prancis sambil bengong-bengong
melihat klip She & Him yang menghibur..
kembali terpekur bosan
...
ingin pulang ke rumah dan tidur saja rasanya...

Thursday, October 15, 2009

Perahu Kertas

Saya enggak tahu harus menulis dari mana dan menulis apa...seperti orang yang sedang jatuh cinta, saya juga begitu dengan buku terbaru dari Dee alias Dewi Lestari, Perahu Kertas. Saya tidak bisa menulis banyak tentang Perahu Kertas karena hati saya sedang terlalu berbunga-bunga, kepala saya terlalu penuh dengan potongan cerita dan barisan kalimat-kalimat dari buku itu. Degup jantung saya cepat sekali, sungguh mirip dengan jatuh cinta dan merindukan sang pujaan. Saya tidak bisa objektif, maksudnya untuk menimbang buku ini sesuai ilmu, teori, atau layaknya jurnalis media. Yang saya bisa bagi adalah saya sukaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali buku ini. Saya suka ceritanya, penceritaannya, tokoh-tokohnya, bahasa tutur, hingga ending buku ini. Kalau saja ada yang tak sreg dengan salah satu unsur tadi, pasti saya tak sebegini cintanya. Ceritanya sederhana, tentang Keenan si pelukis dan Kugy si pendongeng. Umur mereka? abege lah...mahasiswa. Tapi, bukan Dee kalau tak bisa membuat cerita cinta kedua manusia umur jagung itu begitu indah, syahdu, penuh romantisme bermakna, dan dalam bagaikan laut tempat Neptunus si dewa yang jadi bos agen Keenan dan Kugy. Ah, saya menyelipkan cerita itu dalam postingan ini...tidak adil bagi yang belum baca bukunya, enggak akan ngerti kan?!
Yang lucu, dari semua buku yang saya baca dan bagus, semuanya berawal dari buku pinjaman. Saya ini memang menyedihkan. Cinta buku tapi tak pernah menjadwalkan beli buku setiap kali gajian. Mungkin karena tiap bulan harus menimbang 4 buku untuk majalah tempat saya bekerja, makanya saya luput untuk menjadwalkan satu buah buku yang saya pilih sendiri untuk saya baca. Rasanya setiap bulan saya sudah baca buku...tapi bukan buku saya, melainkan buku yang 'harus' saya baca. Perahu Kertas dibawa Tiara, teman saya yang cantik tapi enggak hobi baca. Saya pinjam, baca, malah jumpalitan jatuh cinta. Dulu, saya pinjam Bumi Manusia, ya...sama, jumpalitan juga! Lalu, pinjam Persepolis, The Sirens of Baghdad, dan lainnya...akhirnya ada yang saya beli, ada yang minta dibelikan. Hehehe, ya saya memang menyedihkan. Tapi mungkin ini takdir saya dengan buku. Saya enggak pernah cinta mati banget sampai beli banyak buku bagus yang harus saya baca. Semua pertemuan saya dengan buku (bagus) selalu tak sengaja. Saya 'terpaksa' kenal dulu baru mulai suka dan akhirnya jatuh cinta. Kalau lagi kalap, langsung saya beli. Kalau masih cukup tenang, bisa saya tunda belinya (nabung dulu) atau ya sempat-sempatnya minta dibelikan orang lain (kantong saya aman, hehehe...). Tidak maksimal dan pol-polan memang, tapi sisi baiknya cinta saya tak pernah luntur pada buku2 pilihan saya itu. Semuanya berjejer rapi di rak. Tak banyak tapi saya selalu kangen untuk akhirnya membuka dan membaca ulang mereka. Yang mana saja. Randomlly kangen lah! Nah, begitulah...sekarang cinta saya sedang tersedot kepada Perahu Kertas (yang ketika ini ditulis, belum juga saya beli, masih pinjam). Saya sedih karena saya sudah selesai membacanya. Saya selalu berharap halaman di tangan kanan saya selalu tak pernah berakhir. Selalu ada halaman baru untuk saya buka dan baca. But it's just like life, the book has its end. You can find new book but you can't never find the new chapter or new pages from the old book that has ended. Keberadaannya hanya sepanjang saya membacanya. Tapi efek darinya...it seems endless. Yang lebih saya takjub lagi, tentu saja penulisnya atau apapun sebutannya untuk seseorang yang mampu mencipta karya seperti itu. How blessed he/she is... Saya cemburu tapi bisa diobati selama mereka terus membuat karya yang menghanyutkan saya. Buat saya, untuk itu mereka diberkati kan?! Hehehe...well, anyway, ngakunya enggak bisa nulis banyak, tahu-tahu sudah begini panjang. Pokoknya, buku menjadi elemen penting dalam hidup saya, ya seperti saat ini nih, Perahu Kertas membuat beberapa hari dalam hidup saya di tahun 2009 seolah mengalami peristiwa jatuh cinta....and off course it's so amazing!

Wednesday, October 14, 2009

Dresscode: BATIK

batik in different colors & patterns
Batik from different area/province in Indonesia
me & djak mates in batik
batik indonesia is about culture, the process instead of the result...
Yay yay yay...
tanggal 2 Oktober lalu, Unesco meresmikan Batik sebagai salah satu warisan budaya internasional yang berasal dari Indonesia. Ya, kita memang sudah tahu batik lekat dengan Indonesia. Tak hanya itu, berbagai bukti baik dari ilmu budaya, sosiologi, seni, hingga ranah fesyen, setuju kalau Batik asli akarnya dari Indonesia. Tapi, tentu saja peresmian ini tidak berarti sesempit itu. Unesco mengukuhkan Indonesia sebagai 'pemilik' asli batik dan budayanya ini. Yup, budayanya...jadi jangan terlalu sempit dan terpaku pada kain dan motifnya saja. Batik Indonesia memang tak hanya soal itu. Batik Indonesia mencakup tradisi membuat, prosesinya, memakainya, hingga ritual dan kepercayaan ketika menciptakan batik (so it;s more about the process, not the result). Karenanya, Malaysia atau siapapun bisa saja heran dan (berniat) protes soal ini. Tapi, lagi-lagi ini bukan soal pengakuan motif dan desain batik. Ini adalah Batik as a cultural heritage! Jadi, kalau Malaysia atau negara lain mau bikin batik, ya itu boleh saja, syah saja. Mereka bisa bikin motif dan desain baru, lebih bagus malah lebih baik. Bahkan, sebelum ada pengakuan resmi ini, sudah banyak kok desainer internasional yang menggunakan motif batik atau menyerupainya di dalam desain mereka. It doesn't matter...karena Batik Indonesia lebih ke arah budaya, tradisi, sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup dan diri seorang indonesia. Kita mungkin bersikap layaknya keluarga yang tak sensitif mengungkapkan kepemilikan, rasa sayang, cinta, dan otoritas kita kepada ayah, ibu, adik, kakak, sepupu, dan lainnya. But we're family, no matter what. We belong to each other. Ya begitu juga ketika batik mulai diaku-aku orisinil dari negara lain. Kita, indonesia, baru menoleh...heih? loh, batik kan saudaraku? keluargaku? milikku? Maka itu, pengakuan ini lebih ke arah situ artinya bagi saya. Bukan, bukan berarti siapapun yang mau bikin batik harus bayar kepada kami, Indonesia, bukan itu! Setidaknya, semua orang di dunia ini bisa bercerita..."saya membuat produk ini dengan desain batik. Desain baru, motifnya juga saya yang ciptakan, tapi terinspirasi dari batik yang khas Indonesia". Nah, cukup itu! Setelah pengakuan 2 Oktober, banyak orang berjanji untuk lebih menghargai, mengakui, melindungi, menyanyangi si batik ini. Rasanya seperti keluarga yang pergi kemudia kembali pulang. Tapi, buat saya, cinta di hati kan sangat personal. Pengakuan ini hanya seperti 'ditembak jadian' di televisi nasional atau internasional. Seluruh dunia jadi tahu. Padahal dulu-dulu juga sudah cinta kok. Tapi, memaklumi kebahagiaan ini, ribuan Indonesia berbatik ria di hari itu. Dari pejabat, pegawai, anak-anak, abege di mall, sampai (sumpah) tukang minta2 dan tukang angkut sampah di daerah Manggarai Jakarta terlihat pakai batik. Yang bikin saya lebih senang lagi, ternyata semua indonesia punya batik dalam lemari mereka, meskipun cuma sehelai dan lusuh. It's oke...batik is our part, it's ours, our beloved!
(tulisan ini sepertinya jadi bukti norak kalau saya juga ikut2an baru rame bangga berbatik, hehehe...what the hell lah...)

Thursday, September 17, 2009

Happy Birthday Mon Cher papa

September 17th
happy 69th anniversary, papa
wish you were in the better place
et que Dieu te bennises...

tu me manques beaucoup
-gie-